Wednesday, May 29, 2019

Yuk Intip Putusan MK Soal Pemilu Serentak

Penentuan Umum (Pemilu) Bersama-sama 2019, baik pemilu legislatif (pileg) ataupun pemilu presiden serta wapres (pemilihan presiden) , Rabu (17/4) waktu lalu. Akan tetapi, pengerjaannya tersisa beberapa permasalahan mulai pendapat pelanggaran, kekeliruan proses administratif, sampai menelan banyak korban wafat. Serta realitanya biaya penyelenggaraan pemilu bersama-sama ini jauh tambah mahal dibanding dengan pemilu dengan cara terpisah.



Udah diprediksikan awal mulanya, metode pemilu bersama-sama yg pertama dipraktekkan di Indonesia adalah pemilu paling susah/terumit lantaran memadukan di antara pileg serta pemilihan presiden dengan cara berbarengan. Pemilu mode ini umum dimaksud pemilu lima kotak (lima surat nada) sesuai sama UU No. 7 Tahun 2017 terkait Pemilu, terkecuali implementasi Pemilu di DKI Jakarta. Baca Pun : MK Putuskan Pemilu Bersama-sama Tahun 2019



Membicarakan metode pemilu bersama-sama, gak dapat terlepas dari ketetapan MK No. 14/PUU-XI/2013 yg dimohonkan ahli komunikasi politik Effendi Gazali Dkk. Pada Kamis 23 Januari 2014 lalu, Majelis MK yg diketuai Hamdan Zoelva menghentikan Clausal 3 ayat (5) , Clausal 12 ayat (1) serta (2) , Clausal 14 ayat (2) serta Clausal 112 UU No. 42 Tahun 2008 terkait Pemilihan presiden yg mengontrol implementasi pemilihan presiden tiga bulan seusai implementasi pileg atau mungkin tidak bersama-sama. Akan tetapi, ketetapan MK yg menyuruh pemilu bersama-sama baru dapat dipraktekkan pada Pemilu 2019.





Argumen khusus MK dalam ketetapan ini, ditilik sisi pandang original intent, arti asli perumus pergantian UUD 1945,  udah ada deskripsi visioner perihal prosedur penyelenggaraan pemilihan presiden dengan cara berbarengan dengan pileg (pemilu lima kotak/surat nada) sesuai sama bunyi Clausal 22E ayat (2) UUD 1945 serta penafsiran sistematis Clausal 6A ayat (2) UUD 1945. Tidak hanya itu, pembiayaan penyelenggaraan pemilihan presiden serta pileg dengan cara bersama-sama tambah lebih efektif serta lebih mengirit biaya dan kurangi gesekan horizontal penduduk.

Artikel Terkait : sistem operasi adalah

Lalu, DPR berbarengan pemerintah selanjutnya menampung ketetapan MK terkait pemilu bersama-sama itu lewat Clausal 167 ayat (3) serta Clausal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017. Clausal 167 ayat (3) jo Clausal 347 ayat (1) UU Pemilu menuturkan pungutan suara digelar dengan cara bersama-sama dalam hari libur atau diliburkan dengan cara nasional. Mempunyai arti, implementasi pemilu bersama-sama memadukan di antara pemilihan presiden serta pileg dengan cara berbarengan.



Apabila dikilas-balik, disain pemilu bersama-sama sesungguhnya udah disinggung dalam Ketetapan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Permintaan ini di ajukan Partai Bulan Bintang, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Inovasi, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Perduli Rakyat Nasional, serta Partai Republika Nusantara. Kala itu, mereka meminta pengujian Clausal 9 UU Pemilihan presiden berkenaan ujung batas presiden, Clausal 3 ayat (5) berkenaan pelaksanan pemilihan presiden yg dilakukan seusai pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) .



Dalam Ketetapan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 ini, MK menampik permintaan pemohon. Akan tetapi, ada tiga hakim konstitusi ajukan dissenting opinion (saran tidak sama) ialah Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, serta M. Akil Mochtar. Ketiganya berasumsi pemilu bersama-sama bisa diselenggarakan pada tingkat nasional ialah DPR, DPD serta dan Presiden dan Wakil Presiden. Dan, pemilu bersama-sama tingkat wilayah buat menentukan calon anggota DPRD serta kepala wilayah.





Mempunyai arti, ketetapan ini udah berikan arti yg disebut dengan “pemilu serentak”, memisahkan di antara pemilu nasional serta pemilu wilayah (lokal) . Akan tetapi, tidak sama dengan Ketetapan MK No. 14/PUU-XI/2013 yg tak berikan arti yang pasti berkenaan metode pemilu bersama-sama? MK yg kala itu diketuai Hamdan Zoelva seakan menyerahkan terhadap pembentuk UU buat berikan penjelasan perihal pemilu bersama-sama.



Kontradiksi

Berikan komentar dua ketetapan MK itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Kampus Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti menilainya resiko pemilu bersama-sama pangkal permasalahannya terdapat pada ketetapan MK No. 14/PUU-XI/2013 yg meniadakan etika implementasi pemilihan presiden tiga bulan seusai implementasi pileg dalam UU Pemilihan presiden pada Januari 2014 lalu. Dikarenakan, dalam Ketetapan MK No. 14/PUU-XI/2013 ini, MK tak berikan arti yang pasti serta selesai apa itu yang dimaksud dengan pemilu bersama-sama. Apabila ketimbang dengan ketetapan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 yg menjelaskan pemilihan presiden serta pileg diselenggarakan terpisah terus konstitusional.



“Dalam ketetapan MK No. 14/PUU-XI/2013 tak menyampaikan serta berikan arahan dari ‘pemilu serentak’. Mahkamah malahan menyerahkan terhadap pembuat UU buat mengartikan frasa ‘serentak’ dalam UU Pemilu, ” ungkapnya. (Baca Pun : Dilema Metode Pemilu Bersama-sama)



Menurut Prof Susi, MK tak berkesinambungan lantaran ke dua ketetapan MK itu kontradiksi. Walaupun sebenarnya peraturan yg di-test sama berkenaan dengan peraturan pemilu anggota DPR, DPR, DPR, DPRD serta presiden dan wapres. Mestinya, MK dalam ketetapan 14/PUU-XI/2013 berkesinambungan dengan Ketetapan MK 51-52-59/PUU-VI/2008. Ditambah lagi, Prof Maria Farida kala itu berpendapat tidak sama (dissenting opinion) dengan menggenggam teguh ketetapan MK 51-52-59/PUU-VI/2008.



“Seharusnya, Ketetapan MK Tahun 2014 dalam pertimbangannya, bisa memanfaatkan dalil-dalil yg termuat dalam Ketetapan MK Tahun 2008, ” kata Susi.



Dalam pertimbangan Ketetapan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 berkenaan skedul pemilu yg termuat dalam Clausal 3 ayat (5) berbunyi, “Pemilu Presiden serta Wakil Presiden dilakukan seusai implementasi Pemilu DPR, DPRD serta DPD. ” Mahkamah berasumsi perihal itu adalah trik atau permasalahan prosedural implementasi yg tak berseberangan dengan hukum serta konstitusi.





Pertimbangan ini sama seperti saran tiga hakim MK yg ajukan dissenting opinion, yg menjelaskan pemilu presiden serta wapres dilakukan seusai pemilu legislatif tidak berseberangan dengan UUD 1945. Namun, dalam ketetapan MK No. 14/PUU-XI/2013, MK berasumsi sebaliknya, Clausal 3 ayat (5) UU Pemilihan presiden dikatakan berseberangan dengan konstitusi (inkonstitusional) . Akan tetapi, ketetapan MK ini berlaku pada Pemilu Tahun 2019.



Dosen Hukum Tata Negara STIH Jentera, Bivitri Susanti menilainya pemilu bersama-sama masih sama dipraktekkan pada Pemilu Tahun 2024 waktu depan. Menurut dia, metode pemilu serentaknya dapat memanfaatkan mode pemilu wilayah lebih dahulu, baru lantas pemilu pusat.

Baca Juga : sistem informasi manajemen adalah

Bivitri beda saran dengan Prof Susi berkenaan keteraturan ketetapan MK itu. Menurut Bivitri, Ketetapan MK Tahun 2014 udah berkesinambungan dengan Ketetapan MK di Tahun 2008, bahkan juga sejak mulai ketetapan MK Tahun 2005. Saran tidak sama dalam Ketetapan MK Tahun 2008 tak bermakna bisa dimasukan dalam Ketetapan MK Tahun 2014, namun sungguh-sungguh pertimbangan ketetapan MK Tahun 2008 sebagai bahan pertimbangan dalam Ketetapan MK Tahun 2014.



Ia menuturkan apabila disaksikan seluruh dalam ketetapan MK Tahun 2014, MK udah menyampaikan lebih dahulu putusannya di Tahun 2008 buat menegaskan kalau mereka sebenernya berkesinambungan dalam memotong masalah di tahun 2008. Akan tetapi, dengan pertimbangkan situasi lain, MK tahun 2014 punyai pertimbangan lainnya serta ketetapan yg tidak sama dengan tahun 2008.



Berkenaan permasalahan Ketetapan MK Tahun 2014 yg tak berikan waktu implementasi pemilu bersama-sama yg seperti apa serta cuma menyerahkan seluruhnya terhadap peraturan pemerintah, menurut Bivitri perihal ini MK tidak juga salah. Dikarenakan, MK cuma menjawab constitutional question yg cuma menyampaikan clausal itu konstitusional atau mungkin tidak. Buat perihal tekhnis lain sejak mulai tahun 2005 ialah Ketetapan MK No. 010/PUU-III/2005, perihal ini adalah open legal policy yang wajib ditetapkan oleh pembentuk UU.



Butuh jadi perhatian juga, kata Bivitri, faktor tekhnis manajemen implementasi oleh KPU dalam mengadakan pemilu tersebut biar tak lagi berlangsung resiko yg menimbulkan korban jiwa. “Putusan MK berkenaan pemilu bersama-sama bukan salah satu yang menimbulkan berlangsungnya banyak menggunakan jatuh korban, namun manajemen implementasi pemilu oleh KPU yg butuh dievaluasi lebih baik , ” kata Bivitri terhadap Hukumonline, Rabu (15/5/2019) .





“Dalam rekrutmen petugas pemilu dibutuhkan pengecekan kesehatan lebih dahulu untuk jadi petugas dalam pemilu waktu depan. Perihal ini buat menyikapi kepayahan yang bisa mengakibatkan kematian, ” ujarnya. (Baca Pun : Pemilu Bersama-sama, Haruskah 'Dirombak' Keseluruhan? )



Bukan yg dikehendaki

Ahli Komunikasi Politik Effendi Gazali, salah satunya pemohon Ketetapan MK No, 14/PUU-XI/2013, mengemukakan Pemilu Bersama-sama 2019, bukan pemilu bersama-sama yg ia mau. Sebelum Pemilu 2019 terwujud, Effendi udah memohon MK buat menghentikan pemilu bersama-sama seusai paham hasil UU Pemilu di DPR tanggal 21 Juli 2017 yg lantas berubah menjadi UU No. 7 Tahun 2017 terpenting masuknya peraturan presidential threshold.



Menurut Effendi, pemilu bersama-sama selayaknya tiada presidential threshold. Eks Ketua MK Hamdan Zoelva sempat cerita terhadap dirinya sendiri pada 2017 lalu kalau sesungguhnya kala banyak hakim MK akan memutuskan pemilu bersama-sama, mereka setuju tak ada presidential threshold. Lalu, Effendi ajukan pertanyaan, “Kenapa tak dituliskan saja kalau tak ada presidensial threshold dalam ketetapan MK terkait pemilu bersama-sama? ” Hamdan menjawab “kami fikir akan tidak ada nalarnya masukkan presidential threshold dalam pemilu bersama-sama. ”



“Jadi, disitulah persoalannya, tak dicatat oleh MK. Bila dicatat oleh MK, jadi akan tidak ‘terbelah’ bangsa kita begini, ” kata Effendi Gazali terhadap Hukumonline.



Untuk Effendi, pemilu bersama-sama mesti punyai dua maksud. Pertama, mengerjakan dengan berkesinambungan original intent Clausal 6A ayat (2) UUD 1945 kalau pemilu mesti bersama-sama. Dikarenakan, butuh diingat Clausal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak sempat di ubah. “Pemilu bersama-sama tiada presidential threshold lantaran banyak pendiri bangsa serta pembentuk UUD 1945 mau semuanya putra putri terhebat bangsa banyak yg dapat maju jadi calon presiden serta calon wakil presiden. ”



Meskipun demikian, Effendi berasumsi pemilu bersama-sama terus dapat dikerjakan ialah Pemilu Nasional Bersama-sama serta Pemilu Wilayah Bersama-sama tiada presidential threshold buat jalankan original intent pendiri negara serta pembentuk UUD 1945. “Ke depan, selayaknya MK bisa membatasi makna keserentakan apa yang dimaksud, belajar dari pelajari Pemilu Bersama-sama 2019. Dikarenakan, kita berlandaskan azas the living constitution, umpamanya MK membetulkan interpretasi pemilu nasional bersama-sama serta pemilu wilayah bersama-sama, ” pungkasnya.



Bahkan juga, susulnya, juga ada yg berasumsi keserentakan dalam pemilu itu merupakan penyalonan atau pendaftaran calon ke KPU yg bersama-sama, jadi berbarengan di antara calon presiden serta calon legislatif. Namun pengerjaannya tetap dipisah. “Yang penting oligarki serta politik transaksional dipotong serta tak ada presidential threshold, ” pintanya.



Ia pun menyorot manajemen Pemilu Bersama-sama 2019 yg dinilianya kelabakan. dia menganjurkan biar ke depan KPU mesti menyediakan manajemen pemilu yg tertata dengan libatkan semua pakar. Dia lantas menganjurkan pungutan suara bisa dilaksanakan dengan e-voting. “Ini DPR udah studi banding kemana saja kok tak berjumpa e-voting yg murah serta dapat diyakini, ” ujarnya.





Seperti di USA, dia memberi contoh voting terus gunakan surat nada yg dicoblos, namun langsung tersimpan dalam mesin serta dapat langsung di-scan serta dibaca, hasil pemilihanya lantas dapat di-print serta disimpan oleh pemilih. “Dan, tak usah mencontoh Jerman yg semua kertas nada ada di dalam mesin, sampai bisa sebabkan kehilangan dalam big data. ”



Sebab itu, Prof Susi menganjurkan beraneka permasalahan yg tampak dalam penyelengaraan pemilu bersama-sama butuh dievaluasi dengan cara “radikal”. Mulai dengan meniadakan/menghapus peraturan ujung batas penyalonan presiden. Disaat tanpa ada electoral atau ujung batas, jadi butuh dilaksanakan simulasi terputus apa metode pemilunya bersama-sama atau mungkin tidak. Akan tetapi, apabila pemilu terus diselenggarakan dengan cara bersama-sama, MK musti berikan arahan terhadap pembuat UU. (Baca Pun : Masalah-masalah Pemilu Bersama-sama, Butuh Pelajari ‘Radikal)



Sekarang sejumlah penduduk negara udah mendaftar uji materi kata “serentak” dalam Clausal 167 ayat (3) serta Clausal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 terkait Penentuan Umum yg dimohonkan oleh sejumlah instansi pemantau pemilu pada 10 Mei 2019, waktu lalu. Ada uji materi berkenaan pemilu bersama-sama ini, Bivitri mempersilakan untuk penduduk negara yg mau mencoba ke MK.



“Dalam uji materi terkait pemilu bersama-sama kelak, ada ulasan berbarengan dengan cara terbuka berkenaan Pemilu Bersama-sama 2019 dengan perdebatan-perdebatan ilmiah juga sekaligus berubah menjadi tempat pelajari berbarengan, ” kata Bivitri.

No comments:

Post a Comment